Tepat pada hari Kamis, 7 Oktober 2021, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) resmi mengesahkan Rancangan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (RUU HPP) menjadi Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) yang mengubah UU KUP, UU PPh, UU PPN, UU Cukai, UU Nomor 2 Tahun 2020, dan UU Nomor 11 Tahun 2020. Pengesahan ini memunculkan beberapa perubahan dalam aturan perpajakan, meliputi:
1. PPN
Melalui pengesahan RUU HPP, tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) umum yang sebelumnya sebesar 10%, mengalami kenaikan menjadi 11% yang mulai berlaku pada 1 April 2022, dan menjadi 12% mulai 1 Januari 2025. Pemerintah juga menerapkan kebijakan multi tarif untuk PPN dengan paling rendah 5% dan paling tinggi 15% yang nantinya diatur melalui Peraturan Pemerintah. Tarif PPN sebesar 0% juga akan diberlakukan atas 3 barang, yaitu: (1) ekspor Barang Kena Pajak Berwujud; (2) ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud; dan (3) ekspor Jasa Kena Pajak.
Kenaikan tarif umum PPN ini diungkapkan oleh Sri Mulyani, salah satunya disebabkan oleh pemungutan PPN yang dianggap tidak maksimal, yaitu hanya sebesar 63,58% dari total target pemungutan PPN. Alasan lainnya adalah bahwa tarif PPN sebesar 10% masih jauh lebih rendah dibanding tarif rata-rata dunia yang sebesar 15,4%.
2. PPh OP
Dalam Pasal 17 ayat (1) huruf a, telah dijabarkan 4 lapisan tarif progresif untuk wajib pajak orang pribadi hingga sebesar 30%. Namun atas pengesahan RUU HPP, tarif progresif untuk masyarakat wajib pajak orang pribadi menjadi sebanyak 5 lapisan, dengan rincian perbedaan sebagai berikut:
Lapisan Penghasilan Kena Pajak |
Tarif Pajak | Lapisan Penghasilan Kena Pajak | Tarif Pajak |
UU PPh |
UU HPP |
||
0 – Rp50 juta |
5% | 0 – Rp60 juta | 5% |
Rp50 juta – Rp250 juta |
15% | Rp60 juta – Rp250 juta |
15% |
Rp250 juta – Rp500 juta |
25% | Rp250 juta – Rp500 juta | 25% |
Rp500 juta – Rp5 miliar |
30% |
Rp500 juta – Rp5 miliar |
30% |
> Rp5 miliar | > Rp5 miliar |
35% |
Penambahan lapisan tarif ini diungkapkan oleh Sri Mulyani, salah satunya disebabkan oleh lapisan pajak orang pribadi di Indonesia yang lebih sedikit dibandingkan dengan negara lain sehingga mengakibatkan PPh orang pribadi menjadi kurang progresif. Sebagai perbandingan, Vietnam dan Filipina memiliki 7 lapisan tarif, Thailand memiliki 8 lapisan, dan Malaysia memiliki sebanyak 11 lapisan tarif pajak orang pribadi.
Kemudian dalam PP 23/2018 telah diatur bahwa UMKM yang memiliki peredaran bruto dibawah Rp4,8 miliar dikenai PPh final sebesar 0,5% tanpa ada batasan penghasilan tidak kena pajak. Melalui disahkannya RUU HPP ini, wajib pajak orang pribadi yang memiliki usaha atau UMKM mendapatkan keringanan pajak dengan tidak perlu dikenai PPh final UMKM apabila memiliki peredaran bruto kurang dari Rp500 juta dalam satu tahun.
Sebagai contoh, WP memiliki omset Rp100 juta per bulan atau Rp1,2 miliar dalam setahun. Oleh karena itu, dengan disahkannya RUU HPP, WP hanya perlu membayar pajak dengan tarif 0,5% dari peredaran bruto diatas Rp500 juta, yaitu Rp700 juta, sehingga pajak terutang WP pada tahun tersebut hanya sebesar Rp3,5 juta.
3. Tax Amnesty
Wacana pengampunan pajak (tax amnesty) jilid 2 akhirnya dapat diwujudkan melalui disahkannya RUU HPP. Program ini akan terlaksana mulai 1 Januari hingga 30 Juni 2022. Dalam ketentuan tentang tax amnesty jilid 2 atau yang disebut sebagai Program Pengungkapan Sukarela Wajib Pajak ini, diatur bahwa WP yang memiliki harta bersih sejak 1 Januari 1985 sampai 31 Desember 2015 dianggap sebagai tambahan penghasilan dan dikenai PPh bersifat final. Berikut merupakan tarif tebusan pengampunan pajak dalam pengungkapan harta bersih secara sukarela:
- Tarif sebesar 6% atas harta bersih yang berada di dalam wilayah NKRI, dengan ketentuan diinvestasikan pada kegiatan usaha sektor pengolahan sumber daya alam atau sektor energi terbarukan di dalam wilayah NKRI dan/atau surat berharga negara;
- Tarif 8% atas harta bersih bersih yang berada di dalam wilayah NKRI dan tidak diinvestasikan pada kegiatan usaha sektor pengolahan sumber daya alam atau sektor energi terbarukan di dalam wilayah NKRI dan/atau surat berharga negara;
- Tarif 6% atas harta bersih yang berada di luar wilayah NKRI dengan ketentuan dialihkan ke dalam wilayah NKRI dan diinvestasikan pada kegiatan usaha sektor pengolahan sumber daya alam atau sektor energi terbarukan di dalam wilayah NKRI dan/atau surat berharga negara;
- Tarif 8% atas harta bersih yang berada di luar wilayah NKRI dengan ketentuan dialihkan ke dalam wilayah NKRI dan tidak diinvestasikan pada kegiatan usaha sektor pengolahan sumber daya alam atau sektor energi terbarukan di dalam wilayah NKRI dan/atau surat berharga negara; atau
- Tarif 11% atas harta bersih yang berada di luar wilayah NKRI dan tidak dialihkan ke dalam wilayah NKRI.
Sedangkan bagi WP OP yang memiliki harta bersih sejak 1 Januari 2016 sampai 31 Desember 2020, maka atas harta bersih tersebut juga dianggap sebagai penghasilan tambahan yang dikenai PPh bersifat final, dengan tarif sebagai berikut:
- Tarif sebesar 12% atas harta bersih yang berada di dalam wilayah NKRI, dengan ketentuan diinvestasikan pada kegiatan usaha sektor pengolahan sumber daya alam atau sektor energi terbarukan di dalam wilayah NKRI dan/atau surat berharga negara;
- Tarif 14% atas harta bersih bersih yang berada di dalam wilayah NKRI dan tidak diinvestasikan pada kegiatan usaha sektor pengolahan sumber daya alam atau sektor energi terbarukan di dalam wilayah NKRI dan/atau surat berharga negara;
- Tarif 12% atas harta bersih yang berada di luar wilayah NKRI dengan ketentuan dialihkan ke dalam wilayah NKRI dan diinvestasikan pada kegiatan usaha sektor pengolahan sumber daya alam atau sektor energi terbarukan di dalam wilayah NKRI dan/atau surat berharga negara;
- Tarif 14% atas harta bersih yang berada di luar wilayah NKRI dengan ketentuan dialihkan ke dalam wilayah NKRI dan tidak diinvestasikan pada kegiatan usaha sektor pengolahan sumber daya alam atau sektor energi terbarukan di dalam wilayah NKRI dan/atau surat berharga negara; atau
- Tarif 18% atas harta bersih yang berada di luar wilayah NKRI dan tidak dialihkan ke dalam wilayah NKRI.
4. PPh Badan
Tarif PPh untuk wajib pajak badan yang sebelumnya direncakan akan turun menjadi 20% pada tahun 2022, tidak jadi diberlakukan melalui pengesahan RUU HPP ini. Tarif PPh badan akan tetap sebesar 22% untuk tahun 2022, sama seperti tarif pajak tahun ini. Namun tarif PPh badan ini tetap dapat diubah dengan Peraturan Pemerintah, seperti dalam PP Nomor 30 Tahun 2020 tentang Penurunan Tarif Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak Badan Dalam Negeri Berbentuk PT yang mengatur bahwa tarif PPh badan dengan kriteria tertentu adalah sebesar 20% pada tahun 2022.
Wajib pajak badan dalam negeri yang berbentuk PT, dengan jumlah keseluruhan saham yang disetor diperdagangkan pada bursa efek paling sedikit 40% dan memenuhi persyaratan tertentu dapat memperoleh tarif 3% lebih rendah dari tarif umum 22%.
- Pajak Karbon
Dalam RUU HPP juga ditetapkan tarif pajak karbon yang lebih tinggi atau sama dengan harga karbon di pasar karbon per kilogram karbon diosida ekuivalen (CO2e) atau satuan yang setara, yaitu paling rendah Rp30,00 per kilogram CO2e atau satuan yang setara. Tarif ini mulai diberlakukan pada 1 April 2022, yang pertama dikenakan terhadap badan yang bergerak di bidang pembangkit listrik tenaga uap batubara.
Implementasi pajak ini dikenakan atas emisi karbon yang memberikan dampak negatif bagi lingkungan hidup dan hasil penerimaannya dapat dialokasikan untuk pengendalian perubahan iklim, sehingga disebutkan dapat mengurangi dampak negatif di lingkungan. Pajak karbon juga dinilai memperhatikan peta jalan pajak karbon dan peta jalan pasar karbon, dengan subjek yaitu orang pribadi atau badan yang membeli barang yang mengandung karbon dan/atau melakukan aktivitas yang menghasilkan emisi karbon.